ANAKKU YANG TAK PANDAI
ANAKKU YANG TAK PANDAI
——-
Robbi habli minasholihiin
Oleh : Irene Radjiman
Dia anakku yang nomor 2. Kami lebih senang menyebutnya begitu, sebab dari sejak ia lahir hingga kini saya tidak memakai kontrasepsi, karena suami masih berharap akan ada anak ke-3 dst. Namun rupanya hingga kini belum Allah izinkan kami untuk menambahnya.
Dia berbeda dari abangnya. Hanya dengan dia saya kerapkali berteriak, hanya dengan dia saya kerapkali menangis dengan kesal. Abangnya yang selalu menjadi juara kelas, daya tangkap yang luar biasa, berbeda jauh dengan dirinya yang tidak mudah dengan cepat menangkap materi.
Jangankan berharap juara kelas, bisa naik kelas saja sudah Alhamdulillah.
Dia tak pandai berhitung. Lambat membaca dan menghafal. Saya nyaris dibuatnya putus asa. Apa kata orang nanti ketika melihatnya sebagai anak seorang penulis yang dikenal inspiratif, ternyata cuma segitu?
Suamiku kerap kali mengatakan, “Ada maksud Allah memberi Naza untuk kita.” dan disaat itu juga aku bertanya dalam hati, “Apa maksud Allah?”
Hingga suatu ketika saat sholat ashar di rest area, saya terlibat obrolan dengan seorang ibu usia kisaran 65 tahunan. Saya lupa awalnya bagaimana hingga sampai ibu itu berkisah tentang putera bungsunya.
Beliau memiliki 5 orang putera. Namun putera bungsunya ini yang paling berbeda. Tak pandai berhitung, tak pandai mengingat, tak pandai membaca, daya tangkap yang lambat. Ditambah lagi saat itu keluarga mereka terbatas secara finansial hingga tak mungkin memberikan les tambahan bagi si bungsu.
Lulus SD, mereka (si ibu & suami) bersepakat menaruh putera bungsu mereka di ponpes kobongan. Berharap di sana si bungsu bisa menjadi penghafal Qur’an atau paling tidak seorang da’i. Sesampainya di pondok, bertemu dengan kiyai pimpin pondok dan mengatakan kondisi si bungsu yang sebenarnya. Pak kiyai berujar,
“Dzikir kan terus Robbi habli minasholihin kemudian sebut nama anak kalian. Minimal 200× ba’da sholat fardhu. Paling tidak 1000× dalam sehari kalian langitkan dzikiran itu.”
Mereka pulang dan patuhi.
3 tahun si bungsu di pondok. Memang si bungsu setiap hari membaca Alqur’an, tapi ternyata jangankan menjadi penghafal Qur’an, melantunkan Qur’an pun tak bisa indah, tetap biasa.
Jangankan bisa berdakwah untuk menjadi da’i, menata bahasa saja seringkali berantakan.
“Mengapa Allah tak mengabulkan do’aku?” begitu pertanyaan yang muncul dibenak ibu itu.
Sudahlah anakku tak pandai secara akademik, tak pandai pula mengaji. Begitu pikirnya. Ibu dan bapak tersebut menumpahkan curahan hati mereka pada kiyai pimpinan pondok.
Ikhlas dan ridho lah pada putera kalian, apapun kondisinya, sebab ridho Allah ada pada ridho orang tua, sambil terus tetap amalkan dzikiran itu, bukan dengan harapan putera kalian menjadi ini dan itu, namun berharaplah putera kalian menjadi manusia yang cinta Al-Qur’an sehingga takut akan Allah. Setelah itu lihatlah keajaiban yang akan Allah suguhkan.
Tahun ke-4 si bungsu pulang. Minta restu pada orang tuanya untuk ujlah ke Sumatera, bertani. Si bungsu mengatakan, “Saya hanya butuh restu dari Abah dan Emak. Tak perlu berpikir tentang ongkos saya dan bagaimana saya di sana. Mohon restu dan do’a Abah dan Emak, insyaa Allah hidup saya berkah di sana.”
Hampir 2 tahun di Sumatera menjadi buruh tani. Kemudian mulai memiliki sehektar tanah. Bertambah lagi dan bertambah, hingga memiliki tanah, sawah, dan beternak kambing. 5 tahun di Sumatera sudah menjadi tuan tanah dan memiliki banyak hewan ternak. Si bungsu ingin menikah.
Meminta orang tuanya untuk datang dan mengkhitbah seorang gadis. Ternyata gadis itu sama dengan dirinya. Tak pandai berhitung, tak pandai bicara, namun gemar membaca Qur’an.
Disana orang tuanya bertanya, “Bagaimana ia bisa sesukses itu?”
Karena doa Emak dan Abah
Iya, tapi apa yang kamu lakukan disini Nak?
“Saya melakukan hal yang biasa saja. Sholat diawal waktu dan selalu jama’ah, seperti pesan pak kiyai. Bertani seperti ajaran para tuan tanah di sini saat menjadi buruh tani. Setiap panen, saya selalu undang ustad untuk menghitung zakat yang harus saya keluarkan sebelum panenan saya jual. Yah Emak dan Abah kan tahu saya tak pandai berhitung, maka saya minta tolong ustad untuk menghitung zakatnya Mak.”
Seketika saya teringat ucapan kiyai. Rupanya inilah keajaiban Allah itu!” ujar ibu itu pada saya. Ibu itu menambahkan
“Dari ke-5 orang anak saya, si bungsu inilah yang terbilang sukses secara finansial. Bahkan kakak-kakaknya kerap kali berhutang padanya. Saya menyesal, kenapa dalam dzikiran saya itu fokus saya hanya pada si bungsu. Coba saya sebut nama ke-5 anak saya. Ajaibnya lagi, si bungsu saya ini tak punya rekening Bank. Dia menabung dalam bentuk emas batangan, dan ia bayarkan juga zakatnya setelah mencapai haul dan nishobnya.
Bahkan kalo kakaknya ada yang mau berhutang, dia suruh pilih emas yang mana. Saya kalo ke rumahnya selalu dibawakan emas. Dulu sebelum ada HP, setiap bulan suratnya selalu datang pada kami. Sekarang setiap hari, dia menelepon kami.
Setiap hari mbak! Dia juga punya data anak-anak yatim di kampungnya. Setiap hari anak-anak yatim itu diundangnya makan dirumahnya. Isterinya pun patuh dengan dia. Masyaa Allah!”
Saya tercekat mendengar ceritanya. Masyaa Allah….
Allahuakbar…. Sungguh kerdil saya sebagai orang tua yang mendewakan daya tangkap dan daya hafal yang cepat.
Kisah ini bukan untuk meremehkan prestasi akademik, bukan! bukan itu! berbahagialah anda sebagai orang tua yang memiliki anak dengan prestasi akademik yang gemilang.
Namun janganlah berkecil hati bagi kalian orang tua yang memiliki anak dengan daya tangkap yang kurang tangkas, daya hafal yang kurang cepat. Sebab sebenarnya mereka adalah anak-anak spesial yang khusus Allah berikan bagi para orang tua spesial, untuk melihat keajaiban yang spesial.
Salam hangat untuk ayah bunda yang sedang mempersiapkan generasi Qur’ani dengan keikhlasan hati.
Barokallaahu fiikum.